Free Flaming Soccer Ball Cursors at www.totallyfreecursors.com
Dhewa crimson: "Fanatisme Buta, Wajah Sepakbola Indonesia"

banjhirrrrr

Kamis, 02 Februari 2012

"Fanatisme Buta, Wajah Sepakbola Indonesia"


Ungkapan sepakbola menjadi sebuah agama baru akan mendekati kebenaran melihat kondisi persepakbolaan di Indonesia belakangan ini. Bukan hanya soal tawuran antar suporter dimana mungkin suporter sudah lupa mana yang benar dan salah dan hanya mimiliki asumsi bahwa klub kesayangannya lah yang harus dibela. Namun melihat polemik berkepanjangan dalam dualisme kompetisi sepakbola Indonesia saat ini, mana yang salah dan mana yang benar seolah sudah ditinggalkan hanya demi sebuah fanatisme buta.

Dahulu ramai-ramai pencinta sepakbola Indonesia menyerukan supaya Nurdin Halid mundur sebagai Ketua Umum PSSI. Esensi dari keinginan pencinta sepakbola Indonesia agar Nurdin Halid mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI adalah kebijakan-kebijakannya yang seringkali tidak sesuai dengan semangat olahraga, tidak adanya transparansi dalam pengelolaan PSSI baik dari segi kebijakan hingga soal keuangan, dan yang terpenting tidak adanya prestasi membanggakan yang diraih sepakbola Indonesia.

Namun kini setelah Nurdin Halid tidak menjabat lagi sebagai Ketua Umum PSSI, publik seolah sudah menang dan lupa dari esensi untuk membangun sepakbola Indonesia menuju lebih baik. Mirisnya sebagian besar dari yang “katanya” menginginkan perubahan kini seolah berbalik mendukung tidak adanya transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan roda persepakbolaan Indonesia.

Ketika Liga Super Indonesia (ISL) digelar, ternyata banyak klub yang tidak peduli bahwa ibaratnya penyelenggara ISL, PT. LIga Indonesia, masih dijadikan tersangka dari kasus transparansi pengelolaan keuangan dan masih menjadi sengketa soal status kepemilikannya. Meskipun belum ditetapkan sebagai terpidana, namun alangkah lebih bijak apabila klub-klub menunggu kejelasan status hukum dan transparansi PT. Liga Indonesia sebelum mengambil keputusan ikut serta dalam kompetisi yang diselenggarakan PT. Liga Indonesia apalagi mandat PT. Liga Indonesia sudah dicabut oleh pemberi mandatnya yaitu PSSI sebagai institusi resmi bukan personal.

Pernyataan CEO PT. Liga Indonesia, Joko Driyono, bahwa diselenggarakan Liga Super ini adalah keinginan klub sebagai pemilik saham terbesar mereka patut dipertanyakan. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang diselenggarakan PT. Liga Indonesia beberapa waktu lalu hanya diikuti 13 klub. Kalau mau kita jujur dalam melihat realita, klub-klub Divisi Utama yang dikatrol masuk ke Liga Super baru memberikan konfirmasi keikutsertaan mereka jelang bergulirnya ISL. Bahkan PSMS Medan yang awalnya akan ikut kompetisi yang diselenggarakan secara resmi oleh PSSI, baru berubah haluan setelah masuknya investor dari PT. Bakrie Sumatra Plantations.

Lagi-lagi klub tidak peduli dengan hal tersebut. Mereka berdalih tetap berpatokan pada hasil Kongres Bali yang diselenggarakan Januari lalu, dimana PT. Liga Indonesia merupakan penyelenggara kompetisi sepakbola Indonesia. Dalam Kongres Bali, jelas asumsi saat itu yang ada adalah satu-satunya badan hukum yang menyelenggarakan kompetisi sepakbola Indonesia. Asumsi tersebut sepatutnya berubah seiring dengan tidak adanya laporan keuangan kepada PSSI dan ditolaknya auditor yang ditunjuk PSSI sebagai dasar untuk membenahi PT. Liga Indonesia. Akan tetapi hasilnya sekali lagi sungguh mengejutkan, klub-klub tak mau ambil peduli dan tetap merasa nyaman dengan kebiasaan pengelolaan kompetisi yang diselenggarakan PT. Liga Indonesia.

Munculnya kembali Divisi Utama versi PT. Liga Indonesia semakin memperkeruh kondisi persepakbolaan nasional. Lagi-lagi yang menjadi alasan pembenaran adalah keputusan Kongres Bali. Kalau mau dicermati ada yang janggal dari pembenaran ini, CEO PT. Liga Indonesia, Joko Driyono, mengungkapkan bahwa subsidi untuk klub Divisi Utama sebesar 500 juta yang lebih besar dari keputusan Kongres Bali dimana saat itu diputuskan subsidi untuk klub Divisi Utama sebesar 300 juta. Apakah dengan tambahan subsidi sebesar 200 juta ini lalu pengurus klub-klub Divisi Utama yang menggunakan alibi mengikuti hasil keputusan Kongres Bali harus tergadai idealismenya? Sungguh sebuah pembenaran yang sebenarnya sangat lucu.

Semangat pembenahan sepakbola Indonesia yang sedang akan dimulai rasanya sudah mulai luntur akibat ketidakmampuan pengurus klub untuk keluar dari zona nyaman dan aman yang sudah menjadi kebiasaan mereka selama ini. Hal ini diperparah dengan fanatisme suporter yang lebih condong membela klubnya daripada mengutamakan pembenahan dalam konteks sepakbola nasional, padahal mereka tahu bahwa dalam beberapa tahun terakhir ada hal-hal yang melenceng dari semangat pembinaan sepakbola nasional. Ya, inilah wujud fanatisme buta dari wajah persepakbolaan Indonesia.

Kepada PSSI, diharapkan bisa segera menyelesaikan permasalahan, semoga ancaman dan gangguan ini tidak merubah semangat PSSI untuk membenahi sepakbola Indonesia. Yang terkait dengan hukum positif yaitu transparansi keuangan dan kepemilikan saham PT. Liga Indonesia wajib segera diselesaikan melalui proses hukum yang ada di Indonesia ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar